Minggu, 11 Juni 2017

First Love



Sudah 4 tahun lamanya, Laisa menunggu kedatangan Ricko. Hari ini, Ricko susah sekali untuk dihubungi. Entah kenapa, hati Laisa menjadi risau dan tak tenang. Bagaimana tidak? Setiap hari, jika Ricko tidak menghubunginya, maka, Laisa yang akan menghubunginya. Tapi, hari ini? Sudah beberapa kali ia mencoba untuk Video Call dengan Ricko, dan hasilnya selalu nihil.

Semenjak Ricko pergi,  hari-harinya terasa sangat berubah. Tidak ada yang pernah menjemputnya, tidak ada yang pernah melarangnya, dan hati yang semakin merindukan dirinya. Ada apa ini? Mengapa aku sangat sedih sekali? Padahal, aku tidak perlu berharap untuk kedatangannya. Akankah dia datang kembali seperti yang dulu? Atau dia menjadi lebih dingin padaku? Aku merindukannya. Bagaimana ini? Tapi, apakah dia akan menepati  janjinya untuk datang kepadaku lagi? Batinnya. Berbagai pertanyaan yang  selalu terngiang-ngiang di kepalanya, tidak bisa ia musnahkan, bahkan, menghilangkan satu pertanyaan saja, ia tidak mampu.

Taman Bunga Nusantara, ya, disinilah Laisa ketika ia sedang merindukan Ricko. Disinilah tempat Ia dan Ricko selalu meringankan beban pikiran. Dan mereka selalu bersama-sama jika datang ke tempat ini. Ia berharap bahwa Ricko akan segera pulang dan segera menemuinya.

Saat dirasa sudah cukup lama ia disana, Laisa segera berdiri dari duduknya, berbalik, dan mengambil langkah untuk pergi dari tempat ini. Tapi, dilangkah keduanya, Laisa terhenti, karena ada seseorang yang sedang berdiri tepat di hadapannya. Laisa segera mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa orang yang telah menghadang jalannya ini. Betapa terkejutnya ia melihat sosok manusia jangkung yang sangat-sangat ia kenali dan ia rindukan.

“Ri-Ricko?” Ucap Laisa dengan bibir yang menganga lebar.

“Hello, Lay-ku.”  Sapa Ricko sambil melambaikan tangannya.

“K-kok kamu disini?” Tanya-nya lagi.

“Surprise!! Aku kembali lagi kesini. Akhirnya, dugaan aku bener, pasti kamu lagi disini. How are you?” Tanya Ricko balik.

“Kuliah kamu gimana? Ahhh...  Kenapa gak bilang dulu, si?”
“Hey.. Namanya juga kejutan, ya, harus diem-diem lah. Kuliah aku? Aku udah lulus sejak kemarin. Kamu  udah lulus belum? Huh?” Tanya Ricko dengan membungkuk.

“Aku udah lulus juga, kok. Maaf juga, gak kasih tahu kamu.”

“Gak apa-apa. Selamat, ya, buat kita berdua.” Ucap Ricko tersenyum.

“Kamu tahu? Aku kangen banget sama kamu. Syukurlah, sekarang aku bisa pulang dan ketemu kamu disini.” Ricko menarik napasnya, dan, hap. Dia langsung memeluk Laisa dengan erat.

 Laisa membulatkan bola matanya sempurna. “R-Rick?” Tanyanya dengan gugup.

“Jangan lepasin dulu. Aku nyaman banget kayak gini.  Asal kamu tahu, selama disana, aku gak nyaman, karena, kepikiran kamu terus. Gimana kamu disini? Sama siapa kamu hari ini? Makan apa kamu hari ini? Dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat aku kepikiran sama kamu. Seneng banget ada di dekat kamu lagi.” Ucap Ricko panjang lebar.

“Asalkan kamu tahu, Lay. Dari dulu, aku sayang sama kamu, aku pengen ngejaga kamu dari seluruh bahaya dan masalah yang menimpa kamu. Tapi, dengan mudahnya Papa mengirimku ke luar negeri. Dan, asalkan kamu tahu, aku pengen kamu tetap ada disisiku, bukan, bukan sebagai teman, tapi, sebagai pendamping hidupku. Ya, aku udah suka kamu dari semenjak kita kecil. Dan, sekarang lah waktu yang tepat buat aku, untuk ngungkapin perasaaan aku yang sebenarnya. Laisa, aku cinta sama kamu. Kamu adalah Cinta Pertama bagi aku. Jadi, aku mohon, semoga kamu memiliki perasaan yang sama terhadapku.” Ricko melepaskan pelukannya. Dan memilih untuk menatap dan menunggu jawaban darinya.

“A-aku juga cinta sama kamu. Kamu juga a-adalah Cinta Pertamaku. Tapi, maafin aku, Rick.” Laisa menunduk.

“Jangan  bilang kamu mau nolak aku?” Tanya Ricko dengan suaranya yang bergetar.

“Maafin aku.” Ulangnya lagi.

“Aku mohon, Lay. Jawab pertanyaan aku.”

“Maafin aku, karena, aku gak bisa nolak perasaan kamu, dan maafin aku, karena, aku gak bisa nolak perasaan aku yang sebenarnya.” Laisa mendongakkan kepalanya dan tersenyum.

Mata Ricko langsung berbinar, dan langsung meloncat tinggi-tinggi. Lalu, ia berteriak  “ I Love You, my First Love, You’re my Everything’s!!”

#NulisRandom2017

#Romance

#Chapter2 of Possessive Friend’s

#Day9

@arinruhamasabila

Jumat, 09 Juni 2017

Possessive Friend's

Di bawah sinar rembulan, Laisa menatap lurus langit malam. Memikirkan apa-apa yang sudah terjadi hari ini. Bagaimana bisa Ricko pergi tanpa persetujuannya?

--Flashback On--

Pagi itu, Laisa akan pergi untuk hang out bersama dengan temannya yang lain. Tapi, saat di perjalanan, Ricko menghadang mobil milik Laisa.
Laisa segera turun dan mengernyit, heran.

"Ada apa? Kenapa kok ditutup jalannya?" Tanya Laisa.

"Kamu mau kemana?" Tanya Ricko balik, dengan wajah yang datar.

"Aku mau nongkrong sama Clarissa, Devi, yaa bareng temen-temenku lah pokoknya."

"Gak boleh." Ucapnya datar.

Laisa hanya mendengus, kesal. "Terserah aku dong. Aku udah janjian. Minggir."

Ricko merentangkan tangannya untuk menghadang Laisa. "Aku bilang, jangan."

"Kenapa si?! Kenapa kamu suka larang-larang aku? Ini hak aku, Ricko!" Laisa menggebu-gebu.

"Masuk." Ricko sudah membukakan pintu mobil dengan lebar, mempersilahkan Laisa untuk masuk.

"Gak!"

"Masuk."

"Gak!"

Ricko membuang napasnya kasar. Dan langsung menarik lengan Laisa untuk mengikutinya masuk ke dalam mobil.

"Rese! Aku pengen main." Laisa menyidekapkan lengannya.

"Mainnya sama aku aja, jangan sama yang lain." Ucap Ricko seraya menjalankan mobil milik Laisa.

"Ih.. Temen aku kan banyak. Bukan cuma kamu doang."


"Aku tahu. Tapi, aku yang lebih special."

"Siapa bilang?" Tanya Laisa.

"Tadi barusan, aku bilang." Ucap Ricko dengan wajah yang masih tetap sama, datar. Menyebalkan. Batin Laisa.

****

Laisa sedang hang out bersama dengan Clarissa, Devi, dan Agus. Ricko sedang tidak ada di kampusnya. Jadi, ini adalah kesempatan yang besar untuk Laisa. Karena, jika ada Ricko, pasti ia dibawa kesana-kemari untuk ikut bersamanya.

"Lay.. Kok Ricko gak ngebiarin lo main sama kita, si?" Tanya Clarissa tiba-tiba.

"Yaa.. Mungkin, karena kita udah sahabatan dari kecil. Jadi pengennya sama gue terus." Jawab Laisa.

"Emang gak boleh, ya, lo punya temen baru?" Tambah Devi.

"Gue juga bingung. Kenapa gak boleh? Kalo gue ketahuan hang out bareng kalian, dia bakalan bersikap dingin sama gue."

"Iya ih, emang serem banget dah mukanya. Padahal ganteng." Ucap Clarissa.

"Siapa yang serem?" Tanya seseorang yang suaranya terdengar sangat tidak asing.

"Ya, si Ricko lah. siapa lagi?" Ucap Clarissa, sambil menoleh ke arah belakang. Dan betapa terkejutnya ia, mendapati seseorang yang telah di makinya. "Eh, Ricko. Hehe." Clarissa menyengir lebar dan langsung pergi dengan berlari. Disusul oleh Devi, yang langsung menunduk dan lari secepat kilat.

Berbeda dengan Agus, dia hanya memasang wajah santainya, lalu pergi dengan langkah gontai.

Setelah semuanya pergi, tinggal-lah mereka berdua. Ricko hanya menatap Laisa datar.

"Kenapa sama mereka?" Tanya Ricko.

"Kan gak ada kamu tadinya."

"Seharusnya, kamu nungguin aku buat ke kampus. Jangan sama mereka." Ucapnya.

"Terserah deh. Kenapa juga si, kamu selalu ngelarang aku?" Tanya Laisa dengan nada tak suka.

"Karena aku udah janji mau nge-jaga kamu."

"Tapi kan gak gini juga, Rick. Aku cape kalo gini terus. Aku tahu kamu peduli sama aku. Aku tahu kamu sahabat aku. Tapi, kalo kamu selalu ngelarang aku, aku cape, Rick!" Ucap Laisa dengan air matanya yang menetes satu persatu dan terus memukul-mukul dada bidang Ricko.

Ricko hanya diam mematung melihat sahabatnya itu menangis. Ia kira, Laisa tidak akan pernah menangis.

"Jangan nangis, Lay.." Ricko menenangkan sambil memeluk Laisa erat.

"Aku kesel, Rick! Kenapa kamu gak bebasin aku aja, si?" Ucap Laisa.

"Kalo itu, kamu gak perlu tahu. Aku cuma pengen, kamu tetep ada disamping aku."

"Alasan kayak gitu, aku tahu. Alasan itu emang pasaran." Laisa mengelap sisa-sisa air mata di pipinya.

"Asalkan kamu tahu, Lay. Aku pengen tetep ada disamping kamu, karena aku akan pergi kuliah ke Amerika. Aku pengen ngabisin waktu disini, bareng sama kamu." Ucapnya sambil menunduk, karena tinggi badan Laisa jauh lebih pendek daripadanya.

"Apa? Kamu mau pergi ke Amerika? Kapan?"

"Dua hari lagi." Ricko mengangkat jari tengah dan jari telunjuknya, sehingga membentuk angka dua romawi.

"Kamu kapan punya rencana ini? kapan?!" Tanya Laisa dengan risau.

"Papa mutusin udah dari lama. Maafin aku."

"Jangan pergi. Aku mohon." Laisa menunduk.

"Ini udah 100% rencana Papa, jadi, aku gak ada pilihan buat nolak. Kita jalan-jalan, yuk. Pengen Quality Time bareng Lay-ku." Ucap Ricko mengalihkan pembicaraan.

****

Sudah satu hari dan beberapa jam lamanya mereka menghabiskan waktu dengan jalan-jalan sepulang dari jam mata pelajarannya. Tapi, Laisa hanya menunjukkam wajah murungnya saja. Ada apa gerangan?

"Lay.. Kamu kok murung terus? Jangan di tekuk gitu dong mukanya."

"Besok kamu berangkat." Laisa memanyunkan bibirnya.

"Hmm.. Nanti anter aku ke bandara, ya. Salam perpisahan." Ucapnya tersenyum paksa.

--Bandara, 07.00 WIB--

Pesawat akan segera lepas landas. Jadi, mau tak mau, mereka harus berpisah setelah sekian tahun mereka bersama.

"Lay.. Aku berangkat, ya. Maaf selama ini, suka bikin kamu gak nyaman. Kamu bisa bebas, kok, sekarang. Tapi, jangan lupa tetep hubungin aku, ya. Tunggu aku datang kembali. Aku sayang kamu." Ucapnya sambil memeluk Laisa erat.

"Kamu pergi tanpa persetujuan aku. Aku lebih suka, kalo aku gak bebas karena kamu, daripada aku ditinggal pergi sama possessive friend kayak kamu. Aku sayang kamu juga." Laisa berbicara tanpa menatap Ricko, melainkan, menunduk dan melihat sepatu Ricko.

Pesawat sudah lepas landas sejak 5 menit yang lalu. Tapi, Laisa tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. Ia masih kokoh berdiri, melihat lapisan atmosfer secara tak langsung. Melihat birunya langit. Dan menghirup udara, lalu membuangnya dengan kasar. "Rickooo!! I'll waiting you!! I'm promise!" Ia berteriak sekencangnya.

--Flashback Off--


To be Continued...

#NulisRandom2017

#Teenfiction

#Chapter1

#Day8

See you on the next part!

@arinruhamasabila

Rabu, 07 Juni 2017

Don't Leave Me Alone

Saat Jackson masih berumur 5 tahun, Ibunya membawa Jennie, adiknya, untuk pergi dari rumah. Dirinya sempat merasa bingung pada Ibunya, mengapa Ia tak di ajak untuk ikut? Mengapa Ibunya mengendap-ngendap seperti itu?

"Ibu.. Jennie sama Ibu, mau kemana?" Tanya Jakcson.

"Ibu akan pergi dari sini. Kamu tetap disini saja. Tunggu Ibu dan Jennie untuk datang kembali, ya." Ucapnya.

"Ibu, aku ingin ikut." Jackson merengek-rengek.

"Kau tetap disini saja. Tunggu Ibu untuk datang kembali. Ibu akan cari uang yang banyak untuk kita nanti. Jadi, lebih baik kamu jaga rumah ini."

"Bisakah Jennie tetap tinggal bersamaku, Bu? Aku tidak ingin kesepian." Jackson memohon.

"Tidak. Kau sudah besar. Ibu butuh Jennie untuk mencari uang. Sudah, sekarang masuk, ya." Titah Ibunya.

"Tapi, Bu."

"Tidak ada tapi-tapian. Ku bilang, masuk! Ini sudah malam. Jika ada penculik bagaimana?" Tanya Ibu dengan tatapan tajamnya.

"Baiklah. Kau janji akan pulang cepat, kan?" Tanya Jackson seraya mengulurkan jari kelingkingnya.

Ibunya mendengus. Dan membalas uluran jari itu. "Janji."

Jackson segera masuk ke dalam rumah dengan penuh harapan, bahwa, Ia tak akan lama-lama untuk ditinggal.

****

Sudah beberapa tahun Jackson menunggu kedatangan sang Ibu beserta Jennie. Tapi, apa hasilnya? Ia tak pernah melihat dua batang hidung orang yang di maksudnya sedikitpun.

Jackson tak pernah berhenti untuk terus menunggu di teras rumahnya itu. Hingga saat ini, dirinya sudah berumur 14 tahun pun, Mereka tak pernah datang. Sebenarnya, apa yang mereka lakukan untuk mencari uang? Benar-benar.

Udara dingin menyeruak di sekujur tubuh laki-laki itu. Jackson tidak pernah lelah untuk menunggu sang Ibu pada musim apapun. Jackson tak pernah masuk ke dalam rumahnya. Karena, ia takut, jika Ibunya datang, lalu pergi lagi entah kemana.

Kau tahu? Tubuh Jackson itu sangat rapuh. Bagaimana tidak? Ia selalu menahan rasa laparnya hingga berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Bagaimana tidak, ia tidak rapuh?

Di lain tempat, Ibunya sudah hidup sejahtera bersama keluarga barunya. Jennie sudah tumbuh besar dengan baik. Dan Ibunya, sangat-sangat perhatian pada anak perempuannya itu. Ia sangat takut jika Jennie mengalami berbagai masalah di asramanya itu. Ya, Ibunya sudah berkeluarga dengan seorang pengusaha kaya.

Dengan tidak sengaja, pengusaha itu melihat dompet usang di lemari milik istrinya. Kemudian, ia mengambil dompet itu, perlahan ia membukanya. Apa ini? Foto lelaki kecil? Siapa bocah manis ini? Batinnya.

Dengan langkah cepat, ia segera menemui Lidya--sang Istri, di ruang televisi. "Lidya, foto siapa ini?" Tanya dirinya.

Lidya menoleh dengan santai, dan setelah melihat fotonya, ia membulatkan matanya sempurna.

"Dari mana kau menemukan itu?" Tanyanya dengan gemetar.

"Di lemari milikmu. Kenapa? Mengapa wajahmu begitu terkejut? Siapa dia?"

"Apa jangan-jangan.. Katakan, siapa dia?!" Tanyanya lagi dengan nada yang terkesan tegas.

"A-aku tidak tahu."

"Katakan yang sejujurnya. Siapa dia?!"

"Ma-maafkan aku." Ucapnya seraya menundukkan kepalanya.

"Jika kau tak terus terang padaku, aku tak ingin melihatmu lagi!"

"Maafkan a-aku. Dia adalah Jackson, anak laki-lakiku." Ucapnya sambil menunduk lagi.

"Apa? Kau bilang anakmu hanya Jennie. Tapi? Dimana dia sekarang?"

"Ku-kurasa, dia masih menungguku di kampung halamanku. Ma-maafkan aku, hanya karena aku tak suka anak lelaki, aku meninggalkannya disana. Maafkan aku, karena aku sudah berbohong padamu. Maafkan aku, karena aku sudah memberikannya harapan, bahwa aku akan datang kembali untuk menemuinya." Ucap Lidya menunduk dan berusaha untuk menahan air matanya.

Fahsya, sang pengusaha, hanya diam seribu bahasa. Bagaimana bisa istriku se-tega itu? Ku kira dia adalah wanita yang paling sempurna di dunia ini. Tapi, kenyataannya? Dia jauh dari kata sempurna. Batinnya

"Ma-maafkan aku." Ucapnya lagi.

"Sudah. Sekarang, kau masih ingat alamat kau yang dulu? Kita jemput anak lelaki-mu yang malang." Ajak Fahsya dengan tenang.

****

Mereka sudah sampai di rumah yang dulu di tinggali oleh Lidya. Betapa terkejutnya ia, melihat rumah yang sudah tak terurus dan kumuh seperti ini. Gelap. Ya, hanya ada kegelapan di sana.

Lidya dan Fahsya berjalan ke arah pintu. Dan mengetuknya dengan hati-hati. Tok. Baru satu ketukan, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Rupanya, sang pintu sudah sangat reot.

Lidya melihat ke dalam. Gelap. Tidak ada setitik cahaya pun di dalam sana. Kemana Jackson? Apakah sudah ada orang yang mengurusnya? Jika ada, ia akan sangat berterima kasih pada orang itu.

"Hallo. Jackson? Dimana kamu?"

"Hallo. Jackson?" Ulangnya lagi.

"Anda mencari Jackson?" Tanya seorang paruh baya yang melewati rumah itu.

Lidya menoleh ke belakang, dan mengangguk. "Iya, Bu. Apakah Anda mengenalnya? Apakah Anda tahu dimana dia sekarang?" Tanya Lidya.

"Saya sangat mengenal baik terhadapnya. Saya selalu menganggap Jackson adalah cucu saya sendiri."

"Jadi, apakah Jackson berada dirumah Anda?" Tanyanya dengan wajah yang ber-seri.

"Saya tidak memiliki rumah. Saya adalah seorang gelandangan tua,"

"Benarkah? Maafkan saya."

"Kau siapa? Apakah kau Ibunya?" Tanya seorang paruh baya itu.

"Benar sekali. Dimana Jackson?"

"Saya pikir, kau harus bertaubat pada-Nya. Bagaimana bisa, kau meninggalkan anak sekecil itu? Anak yang tidak tahu harus melakukan apa, anak yang tidak tahu harus mencari makanan kemana? Bagaimana bisa kau meninggalkannya? Kau tahu? Sudah sebulan yang lalu, Jackson meninggalkan dunia ini dengan kondisinya yang sudah sangat meng-khawatirkan. Kau tahu? Jackson selalu memanggil-manggilmu dan Jennie dikala ia ingin bertemu denganmu. Kau memang wanita yang tak punya perasaan! Perasaanmu sudah mati oleh hawa nafsu-mu! Dan satu lagi, Jackson menitipkan surat ini padaku dikala ia sudah tahu bagaimana caranya menulis. Dan, syukurlah kau datang, walau sudah sangat-sangat terlambat. Saya harap, hatimu dapat me-lembut."

Lidya tak kuasa menahan bendungan air mata yang terus mengalir dengan derasnya. Ia tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa diam meratapi semua ini. Perlahan, ia membuka sebuah kertas yang telah usang dan mulai membacanya.

__________

Untuk : Ibuku tercinta.
Dari : Jackson, anakmu yang meng-harapkan kedatanganmu. 

Apa kabar, Ibu? Apakah Ibu baik-baik saja disana? Sudah sekian lama, aku tak melihat wajah cantikmu, sudah sekian lama, aku tak merasakan kehangatan dan rasa kasih sayangmu. Dan sudah sekian lama, aku tak melihat wajah lucu Jennie. Bagaimana kabar Jennie sekarang, Ibu? Pasti Jennie sudah menjadi wanita yang cantik sepertimu. 

Kau tahu? Aku belajar menulis dari Nenek tua gelandangan yang baik hati. Aku sangat bersyukur, karena, jika aku bisa menulis, aku bisa mencurahkan segala keluh kesah yang menimpaku selama Ibu tak ada. 

Kau meninggalkanku sejak aku berumur 5 tahun, Bu. Dan sekarang, aku sudah berumur 14 tahun. Kemanakah janji yang dulu kita setujui, Ibu? Mengapa kau sangat lama meninggalkanku? Jika aku tak bertemu denganmu untuk yang terakhir kalinya, bagaimana, Bu? 

Aku hanya ingin, Ibu dan Jennie kembali tinggal bersamaku. Aku sudah lelah menunggumu yang tak kunjung datang. Aku lelah, Bu. Kadang, aku pernah berpikir, bahwa aku tidak memiliki seorang Ibu dan seorang adik. Sangat miris, ya, Bu?

Harapan dariku adalah, bahwa kau harus senantiasa sehat selalu, dan tidak sepertiku yang sudah tidak se-sehat dulu. Semoga kau dan Jennie bahagia,  dimana pun kalian berada. Aku hanya ingin, melihat dan memelukmu satu kalii saja. Tapi, itu sangatlah sulit untukku.

Satu lagi, aku belum sempat mengatakan ini padamu. I Love You, Mom. Please, don't leave me alone. 

Salam Rindu, dari anakmu, Jackson.

Sampai jumpa. :')

__________

"Ya Tuhan. Tolong maafkan aku! Tolong maafkan aku.. Maafkan Ibu Jackson. Maafkan Ibu yang hanya memandangmu dengan sebelah mata. Ibu rindu padamu, Nak. Tolong maafkan Ibuu! Aku memang Ibu yang jahat! Maafkan akuu!"

.

.

.

#NulisRandom2017

#sadending

#Day7

@arinruhamasabila

Selasa, 06 Juni 2017

Lunch Box

Pagi itu, sinar mentari menerobos masuk lewat kaca jendela kamar Geitsha, menyorot mata Geitsha yang masih tertutup rapat. Geitsha membuka matanya perlahan. Menyesuaikan masuknya cahaya pada matanya.

Seperti biasa, ia membuka jendela kamar untuk mengover Oksigen dengan Karbon Dioksida, yang semalaman berada di dalam kamarnya. Menarik dan membuang napasnya secara teratur, melakukan pemanasan di kamarnya, setelah itu ia mandi, untuk membuat badan menjadi fresh kembali.

Setelah selesai mandi pagi, Geitsha segera turun ke bawah untuk sarapan. Disana, sudah ada Mama Geitsha, yang sedang menyiapkan sarapannya dan sedang membuatkan bekal untuk Geitsha.

Meskipun Geitsha sudah beranjak remaja, namun, Mama Geitsha selalu membawakan bekal untuknya, karena Mamanya khawatir Geitsha akan membeli makanan yang tidak sehat saat dirinya sedang lapar. Mama ingin Geitsha selalu baik-baik saja. Karena, Geitsha adalah satu-satunya yang berharga, setelah Papa Geitsha yang telah berada di pangkuan Tuhan.

"Pagi, Mama." Sapa Geitsha dengan senyum cerianya.

"Pagi, SweetHeart." Sapa Mama lagi.

"10 menit lagi mobil jemputannya mau datang, lho. Percepat makannya, ya." Ucap Mama sambil merapikan bekal makanan milik Geitsha.

"Oke, Ma. Mobil jemputan kan, gak bakal ninggalin Getsa."

"Iya, iya. Sekarang, cepat makan. Ingat, waktu." Ucap Mama, seraya menunjuk-nunjuk jam yang berada di dinding.

Geitsha memakan makanannya dengan lahap. Dan menghabiskannya tanpa sisa. "Eumm.. Enak. Masakan Mama selalu yang terbaik!"

"Syukurlah." Mama tersenyum.

Tiinnn..

Suara klakson mobil membuat Geitsha bangun dari duduknya. Sejak 3 menit yang lalu, Geitsha dan Mama sudah menunggunya di depan taman yang tak jauh dari rumahnya.

"Mama, aku berangkat dulu, ya." Ucap Geitsha sembari mencium tangan Mama.

"Iya. Yang pinter, ya. Harus rajin disana, oke?" Mama membelai lembut rambut ikal milik Geitsha.

"Oke, Ma. Mama, sekarang bekalnya nugget ayam, kan?" Tanya Geitsha penuh semangat.

"Sekarang Mama gak buatin kamu nugget, sayang. Tapi, Mama buatin kamu sandwich." Ucap Mama dengan lembut.

"Yhaaa.. Mama.. Aku kan pengen nugget ayam." Geitsha memanyunkan bibirnya.

"Jangan gitu, dong, Getsa. Besok Mama buatin nugget, oke?"

"Beneran, Ma? Asyikk!"

"Yaudah, Ma. Getsa berangkat, ya. Sayang Mama." Geitsha menampilkan deretan gigi-giginya yang rapi.

"Dadah.." Mereka saling melambaikan tangan.

Perlahan, mobil pun semakin lama semakin menjauh dan tak terlihat.

****

Seperti biasa, di pagi hari, Mama menyiapkan bekal untuk sang anak tercinta. Dan, mengantarkan Geitsha sampai ke depan taman.

"Ma, hari ini, masaknya apa?" Tanya Geitsha dengan mata yang ber-binar.

"Sosis panggang, sayang." Ucapnya.

"Yhaaa.. Mama.. Aku kan pengen nugget ayam." Geitsha lagi-lagi memanyunkan bibirnya.

"Mama lupa, Getsa. Besok deh, gak papa, kan? Janji deh, janji." Mama mengulurkan jari kelingkingnya.

Geitsha membalas uluran jari itu, dan mempautkannya dengan jari miliknya. "Aku berangkat. Dadah." Geitsha memeluk Mama, dan mencium kedua pipi-nya.

"Belajar yang rajin, ya.. Harus semangat!!" Ucap Mama, yang hanya di jawab oleh anggukan mantap dari Geitsha. Lalu, Geitsha berlari masuk ke dalam mobil jemputannya.

Setelah mobil pergi, Mama pun kembali ke rumah.

Sesampainya dirumah ..

Dering telpon berbunyi, Mama mengangkatnya dan bercakap-cakap dengan sang penelpon..

****

Keesokan harinya, seperti biasa Mama membuatkan bekal untuk Geitsha. Lalu, segera bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Bukan, bukan pergi ke taman. Melainkan, pergi ke pantai.

Sesampainya disana, Mama segera mengeluarkan kotak bekal, berjalan ke arah bibir pantai, dan menghanyutkan bekal itu ke pantai.

"Geitsha sayang, ini bekal nugget ayam kesukaanmu, Nak.. Maafkan Mama, sayang. Mama tidak menyangka kau pergi secepat ini." Setetes air mata pun jatuh menyusul kepergian sang buah hati.

--Flashback on--

Dering telpon berbunyi, Mama mengangkatnya dan bercakap-cakap dengan sang penelpon.

"Halo," ucap seseorang di sebrang telpon.

"Halo, siapa, ya?" Tanya Mama.

"Ini dengan wali kelas Geitsha, Bu. Sebelumnya, saya minta maaf yang sebesar-besarnya."

"Minta maaf untuk apa, Bu?" Mama mengernyitkan dahinya.

"Kami, pihak sekolah menyatakan permintaan maaf yang sebesar-besarnya, karena, Geitsha di larikan ke Rumah Sakit siang ini. Ini semua terjadi saat kecelakaan mobil dengan bus tadi pagi, Bu. Ta--" ucapnya terpotong.

"Dimana?! Di RS mana Geitsha?! Saya akan ke sana. Tolong jaga dia.. Beritahu saya, dimana anak saya?!" Mama tak bisa menahan rasa tak tenangnya.

"Dengarkan saya dulu, Bu. Saya sungguh minta maaf. Karena, Geitsha sudah tidak bisa diselamatkan. Saya harap, semoga Ibu bisa merelakan kepergiannya. Kami sangat-sangat berduka cita atas kepergian Geitsha. Kami mohon. Maafkan kami."

"A-APA?! ANAKKU? TIDAK MUNGKINN!! KEMBALIKAN ANAKKU!! KEMBALIKAN!!" Mama tak bisa menahan rasa sakit dan terpukulnya. 

"Aku bahkan belum memasakkan Geitsha satu nugget pun. Aku sangat menyesal! Setidaknya, Aku harus membuatkan Geitsha makanan kesukaannya! Ya Tuhan.. Bagaimana bisa kau mengambilnya dengan cepat dari-ku? Aku ingin dia berada di sampingku! Anakku.. Maafkan Ibuuu,"

--Flashback off--

"Semoga kamu tenang disana, sayang.. Ibu akan selalu menyayangi-mu, kapan pun, dan dimana pun. Selamat tinggal... My SweetHeart."




Langit selalu sama. Hari-hari pun belum berubah. Hanya satu yang berubah.. Kehilangan..

.

.

.

#NulisRandom2017

#SadEnding

#Day6

@arinruhamasabila

Senin, 05 Juni 2017

My Lovely Mother

Airin mempunyai seorang Ibu yang sangat penyanyang. Meskipun tidak ada sang Ayah, namun, Airin tetap ceria dalam ke-sehariannya. Ya, Ayahnya sudah tiada di dunia ini.

Airin hanya bisa melihat sang Ayah dari pigura foto yang terpajang di dinding kamar ibunya. Rasanya, Airin ingin memiliki keluarga yang lengkap. Se-lengkap keluarga teman-temannya.

Saat ini, Airin sedang bersiap untuk pergi ke sekolahnya. Bersama sang Ibu tentunya. Ya, Ibunya lah yang selalu mengantar-jemput Airin. Dan, tak pernah ada kata terlambat diantara Airin dan Ibunya.

"Airin. Sudah siap? Let's go!" Ucap sang Ibu bersemangat.

"Sudah, Bu. Come on!" Ucapnya dengan wajah yang berseri.

1 jam kemudian, Airin sampai di sekolahnya. Ia segera berpamitan kepada sang Ibu dan mencium tangannya dengan lembut.

"Aku sekolah dulu, Bu. Jangan lupa jemput aku, ya. Aku sayang Ibu." Ucapnya seraya mencium kedua pipi sang Ibu.

"Oke, sayang. Jangan nakal, ya, di sekolahnya. Dimakan, makanannya. Jangan sampai di bawa ke rumah lagi. Ibu mau secepatnya pulang kerja, biar Airin gak nunggu. Oke?"

"Oke! Pastilah aku makan sampai habis. Aku tahu kok Ibu mau cepet-cepet ketemu Airin di TK ini. Hehe." Airin memberikan cengiran khas-nya.

Airin segera keluar dari mobilnya dan memasuki kelas dengan gairah yang full.

"Kamu di anter lagi sama Mama kamu?" Tanya Deri.

"Iya. Emangnya kenapa, Der?"

"Gak. Cuma pengen aja di anter sama Mama juga. Mama-ku kan sibuk terus. Jadi, aku selalu sama Ayah." Ucap Deri sambil memanyunkan bibir mungilnya.

"Kamu udah 6 tahun. Jangan manyun. Aku aja nggak." Ucap Airin.

"Aku kan masih kecil! Kamu juga masih kecil!" Deri me-nyelonong pergi meninggalkan Airin.

"Deri emang suka gitu. Suka marah ga jelas, kaya anak kecil. Suka manyun aja kalo gak suka! Aku gak suka!" Ucap Airin pada dirinya sendiri, seraya memanyunkan bibirnya, persis seperti yang Deri lakukan tadi.

Sekarang sudah memasuki jam makan. Airin segera membuka bekal yang dibuatkan Ibunya, khusus untuk dirinya. Rasanya, ia sangat tenang memakan masakan sang Ibu, ketika ia jauh darinya.

"Hmm.. Kayaknya enak. Boleh coba nggak?" Tanya Deri yang langsung mendekati meja Airin.

"Gak boleh. Ini masakan ibu." Jawabnya cuek. Memang, Airin tidak suka jika ada yang meminta masakan sang Ibu. Airin hanya ingin dia saja yang harus menikmati masakan se-lezat dan se-sehat ini. Bukan orang lain.

"Pelit. Bu guruu.. Airinnya peliiit.." ucap Deri manja.

"Airin, kasih Deri sedikit, ya. Saling berbagi, yuk, sayang." Ucap Bu guru dengan membujuk.

"Gak mau, Bu. Ini masakan Ibu saya." Airin memanyunkan bibirnya.

Entah tenaga dari mana, Deri merebut kotak nasi yang sedang di pegang oleh Airin. Dan langsung melahapnya dengan secepat kilat.

Airin yang melihat itu, diam, dan tak berkata-kata. Airin hanya menunduk lemas sambil meneteskan air matanya. "Maafkan aku, Ibu. Siang ini, aku tak memakan masakanmu. Aku sudah berjanji untuk terus memakan masakanmu di sekolah. Tapi, Deri merebut dan memakan makanannya dariku." Ucapnya pelan.

"Jangan menangis, sayang. Kamu mau makan masakan Ibu?" Tanya Bu guru sambil mengusap puncak kepala Airin.

"Tidak, Bu. Terimakasih."

*****

Mengapa Ibu tak kunjung datang? Sudah 2 jam aku menunggunya disini. Ibu bilang, dia tidak akan mau untuk membuatku menunggu. Tapi? Ah sudahlah. Aku hanya perlu menunggunya beberapa menit lagi. Mungkin. Aku harus bersabar.

Ah. Aku kesal menunggunya terlalu lama. Tubuhku sudah membeku rasanya. Aku bersenandung saja sambil menunggu kedatangannya.

"Airin." Suara itu membuyarkan senandungku. Rasanya, suara ini nampak tak asing bagiku.

"Airin. Maaf sudah membuatmu menunggu." Ucap seseorang itu padaku.

Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Dan, setelah aku melihat wajahnya, apa ini? Mengapa yang muncul adalah guruku? Kukira Ibuku yang datang.

"Lho? Kok Bu guru? Ada apa, Bu?" Tanyaku.

"Kamu menunggu Ibumu, ya, sayang?" Ucapnya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan olehku.

"Iya, Bu. Kok Ibu saya gak datang-datang, ya. Sudah 2 jam lebih saya menunggu. *sroott*" ucapku seraya menyedot ingusku. Karena, cuacanya sangat dingin.

"Kamu pulang sama Ibu, yuk." Ajaknya.

"Saya mau nunggu Ibu saya, Bu."

"Jika Ibumu tak kunjung datang? Bagaimana, Airin?" Ucap Bu Guru dengan raut wajah yang tak bisa ku artikan lagi.

"Pasti Ibuku datang untuk menjemputku. Dia sudah berjanji." Ucapku.

"Nak, dengarkan baik-baik. Tadi, ada yang menelpon ke sekolah, dan itu adalah dari pihak Rumah Sakit Pusat. Pihak rumah sakit mengatakan, bahwa Ibu-mu telah tiada sejak 3 jam yang lalu." Ucap Bu guru dengan raut wajah penuh kasihan padaku.

Apa ini? Bu guru hanya membicarakan hal omong kosong saja padaku. Apa maksud dari perkataannya? Aku tak akan percaya!

"Maksud Ibu? Itu tidak mungkin, Bu."
Ucapku dengan tenang.

"Kau tahu yang sebenarnya, kan, Airin? Bahwa Ibu-mu tak pernah terlambat untuk menjemputmu? Kau lihat? Sekarang kau sudah bejam-jam menunggu Ibumu di cuaca yang dingin ini." Ucapnya sambil menyejajarkan tingginya dengan tinggi badanku.

"A-apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyaku untuk lebih memastikan.

"Ibu-mu kecelakaan sejak pagi tadi, setelah mengantarkanmu, Airin. Dan, mungkin, Tuhan sudah ingin Ibumu kembali pada-Nya." Ucap Guru-ku terus terang.

"Maafkan Ibu, Airin sayang. Maafkan Ibu, karena, kau harus hidup mandiri setelah Ibu pergi. Maafkan Ibu, nak. Kamu tahu? Hal yang paling berharga adalah dirimu seorang, nak. Ibu sayang Airin. Selamat tinggal.---"

"---Itulah pesan terakhir yang Ibu-mu sampaikan lewat salah satu suster di Rumah Sakit." Ucap Guru-ku lagi.

Air mataku mengalir begitu deras. Kenapa ini? Mengapa ini semua harus terjadi? Setahun yang lalu, aku ditinggal pergi oleh Ayah. Sekarang? Ibu juga mengikuti Ayah untuk pergi meninggalkanku. Sebenarnya, kenapa semua ini terjadi?

"Ja-jadi, masakan I-ibu tadi a-adalah masakan terakhir yang t-tak ku ma-makan. Setidaknya, aku harus menyampaikan salam sayang dan salam perpisahan ku padanya."

"Ibuuuuuuuuuuuu" aku berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.

.

.

.

#NulisRandom2017

#Day5

#SadEnding

@arinruhamasabila

Sabtu, 03 Juni 2017

Are You Serious?

Hana sedang menunggu sahabatnya sejak 5 menit yang lalu. Entah kenapa ia sangat jenuh saat ini. Padahal, Dimas yang menyuruhnya untuk datang ke Café ini. Tapi, Dimas juga yang tidak tepat waktu. Menyebalkan. Batin Hana.

Tak lama kemudian, setelah Hana menggerutu di dalam hatinya, Dimas datang dengan sekantong makanan kesukaan Hana. Ia tahu, bahwa Hana akan marah jika ia telat 1 menit saja. Ia tahu, bahwa Hana akan meredam rasa marah dengan makanan kesukaannya--Craps.

"Halo.. Hana-ku." Sapa Dimas sambil menarik kursi untuk di duduki.

"Halo. Halo. Lo udah telat lima me--" Ucap Hana terpotong.

"Shutt.. Nih, ada makanan favorit lo. Makan, noh, makan." Dimas memberikan Craps itu ke tangan Hana.

"Waaahh.. Thank you banget loh, Dim-dim. Gue suka. Pesenin gue minum juga dong. Gue haus, dari tadi nungguin lo terus."

"Lo nunggu gue cuma 5 menit aja, udah kayak nunggu 5 jam. Dasar cewek. Berlebihan." Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sorry, ya, waktu gue itu berharga."

"Apa? Lo cuma fan girl-an aja di rumah. Apa yang berharga?"

"Yaa, itu kan berharga menurut gue. Kalo lo mau ngerasain jadi gue, lo harus jadi fan boy makanya." Ucap Hana.

"Terserah deh. Mau minum apa?" Dimas mengalihkan pembicaraan. Tahu kan, jika mengajak perempuan berdebat itu seperti apa? Nggak bakal ada ujungnya, apalagi, yang anak K-popers.

"Yang kayak biasa. Jus alpuket." Ucap Hana bersemangat sambil mengunyah Craps miliknya.

Setelah memesan, Dimas menghampiri kursi-nya lagi. "Lahap banget makan lo. Nanti gendut, lho. Sini, gue bantuin makan." Ucapnya sambil merebut Craps dari tangan Hana.

Dimas memakannya dengan lahap. Se-lahap Hana tadi. Hana yang melihat Dimas memakan Craps-nya, hanya bisa mendengus, kesal. "Balikin makanan gue." Ucap Hana dengan tenang, tapi dengan tatapan mata yang tajam. Se-tajam duri ikan gurami.

"Yah, udah abis." Ucap Dimas dengan wajah melasnya.

"Balikin makanan gue." Ulang Hana.

"Tapi, udah abis. Gimana dong?" Ucap Dimas lagi sambil menopang dagunya dengan kedua telapak tangan.

"Rese. Gue laper, Dimas." Hana memegangi perutnya.

Saat itu juga, pelayan datang dengan minumannya. Belum juga di taruh ke meja oleh sang pelayan. Dimas langsung mengambil minumannya dari nampan sang pelayan. Si pelayan hanya memasang wajah cengo nya, melihat kelakuan sang pengunjung yang tidak sopan. Tidak ingin ambil pusing, pelayan tersebut segera berbalik dan pergi ke tempatnya.

"Nih, nih. Minum ini. Biar gak laper."

"Terserah, deh. Lo aneh. Lo rese kalo lagi aneh." Ucap Hana sambil meneguk minumannya.

"Lo juga aneh kalo lagi rese." Balas Dimas.

"Sebenernya, ngapain si, lo nyuruh gue buat ke sini?" Tanya Hana dengan gemas.

"Yaa.. Pengen aja."

"Kenapa juga lo nyuruh gue kesini, kalo cuma nyuruh gue buat nunggu, makan dan minum."

"Tunggu sebentar lagi. Gue lagi nunggu barang." Ucap Dimas dengan watadosnya.

"Tuh, kan. Lo nyuruh gue nunggu lagi. Gue ga mau jadi korban penunggu lo." Ucap Hana dengan dramatis.

"Lo ga mau nunggu? Tuh barang gue udah dateng. Bentar, ya." Dimas pergi ke luar untuk mengambil barang yang di maksudnya.

Dimas datang kembali dengan wajah berseri-nya. Itu sangatlah berbeda di mata Hana. Jujur, sejak kecil dan sampai SMA, Hana tidak pernah melihat Dimas bisa se-bahagia itu. Yang Hana tahu, Dimas adalah cool, frozen, and annoying boy. Tapi ini? Dimas merubah expresi wajahnya saat bertemu dengan barangnya.

"Hana." Ucap Dimas yang langsung membuat Hana tersadar dari gumaman batinnya.

"Apa?"

"Lo tadi bilang, gak mau jadi korban penunggu gue, kan?" Tanya Dimas yang lebih tepat di sebut pernyataan.

"Bener banget!"

"Well, kalo gitu, would you like to be my girlfriend and my everything for ever?" Ucap Dimas sambil mengeluarkan sebuah kalung dan cincin yang berhuruf DH (DimasHana). Sangat indah.

Hana diam seribu bahasa. Ia terlalu malu dan gugup berhadapan dengan Dimas sekarang. Bagaimana bisa Dimas menyukai-nya? Warna merah tomat, menyebar di kedua pipinya yang chubby. Dimas, are you serious? Batin Hana.

"Gimana? You want?" Tanya Dimas dengan berharap.

"Memang, ini aneh buat lo. Memang, ini gak masuk akal buat lo. Tapi, menurut gue, hal ini masuk akal. Dan sangat-sangat masuk akal. Jadi," ucapnya terpotong.

"Gue mau." Ucap Hana cepat. Se-cepat cicak merayap.

.

.

.

#NulisRandom2017

#TeenFiction.

#Day4

@arinruhamasabila 

Jumat, 02 Juni 2017

Hallucinations

Malam ini, Laras sudah sampai di tempat tujuannya. Setelah susah payah untuk mendapatkan izin dari Mamanya. Akhirnya, ia dapat datang dengan tepat waktu.

"Ada apa kau memanggilku?" Tanya Laras pada Rani.

"Tidak apa-apa. Hanya saja, aku rindu padamu." Ucap Rani sambil memeluk Laras erat.

"Hei.. Lepaskan. Kau membuatku sesak." Laras mencoba melepaskannya dengan sekuat tenaga.

"Aku ingin pulang. Malam lusa saja kita main lagi. Sekarang, ibuku melarangku untuk keluar malam lama-lama. Tidak apa-apa kan?" Tanya Laras dengan ragu. Ia takut, jikalau nanti, Rani tidak suka dan marah padanya. Laras tidak ingin membuat Rani marah lagi. Karena, Laras terlalu takut jika harus ber-marahan dengannya.

"Yasudah, tidak apa-apa. Yang penting kau akan datang dan bermain bersamaku lagi. Sampai jumpa lusa yang akan datang.." Rani tersenyum dan melambaikan tangannya, lalu hilang dengan secepat kilat.

"Wah. Enak sekali, dia pulang dengan hitungan detik saja. Sedangkan aku? Aku harus berjalan kaki lebih dari 500 meter ke rumah." Laras memanyunkan bibirnya dan langsung mengambil langkah untuk pulang ke rumahnya, sambil menendang-nendang kerikil yang ada di jalanan sepi tersebut.

"Aww." Ringisan seseorang terdengar jelas di telinga Laras.

Laras mendapati seorang anak laki-laki seusianya, tengah mengusap-ngusap kepalanya. "Hei, kau tak apa-apa?" Tanya Laras.

Lelaki itu pun, menengok ke arahnya secara perlahan. "Sakit.. Apakah kau yang melemparkan kerikil itu padaku? Aishh.." ujarnya sambil terus mengusap-usap kepalanya.

"Maafkan aku. Aku tak sengaja."

"Sudahlah. Tidak apa-apa. Oh, iya. Siapa namamu?" Tanya lelaki itu dan langsung mengulurkan tangan kanannya pada Laras.

"Namaku Larasinta. Kau bisa memanggilku, Laras." Ucap Laras sambil membalas uluran tangannya.

"Namaku Ericxanenda. Panggil saja aku, Eric." Eric tersenyum.

"Kenapa kau ada disini malam-malam begini? Lihatlah. Jalanan ini sepi. Dekat dengan tempat pemakaman. Kau tak takut?" Tanya Eric.

"Aku tak takut karena aku mempunyai teman disini. Lagi pula, kenapa aku mesti takut? Lalu, bagaimana denganmu?" Laras balik bertanya.

"Aku pun tak takut. Karena, memang aku tinggal disini. Kalau boleh tahu, siapa nama temanmu itu?"

"Kau tinggal disini? Wah.. Kalau begitu, apakah kau kenal dengan Rani? Rani adalah temanku." Ucap Laras dengan antusias.

"Ya, aku kenal. Dia kan sepupuku." Ucapnya enteng.

"Oo.. Begitu." Laras mengangguk-anggukan kepalanya.

"Waduh.. Aku telat. Aku harus pulang. Jika tidak, aku akan dimarahi oleh Mama. Aku duluan, ya, Ric. Dah." Ucapnya lagi, sambil melambaikan tangannya dan berlari terbirit-birit.

****

"Habis dari mana saja kamu?" Tanya Mama dengan nada suara yang terkesan tegas.

"Sudah kubilang, aku keluar untuk bertemu dengan teman sebayaku, Ma. Kau tak percaya padaku. Jika aku tidak datang, dia akan marah padaku. Mama tahu? Aku bertemu teman baru disana. Dan, setiap aku kesana, pasti aku diajak untuk ke rumah klasik milik keluarganya. Itu sangat menyenangkan. Tapi, kali ini, aku ingin pulang lebih cepat. Jadi, aku tak berkunjung ke rumahnya. " Laras memanyunkan bibirnya.

"Siapa? Rani? Hah?! Kau tak punya teman yang bernama Rani, Laras! Kenapa kau selalu pergi ke tempat itu?! Itu adalah tempat yang seharusnya tidak kau kunjungi. Itu adalah tempat pemakaman. Tak ada rumah klasik disana! Jujur. Sekarang, Mama sudah tidak tahan kau seperti ini! Mama ingin kau bermain dengan selayaknya. Bermain di siang hari, bermain bersama teman-teman yang sesungguhnya, dan yang terpenting bukan dengan teman halusinasi-mu! Kau harus tahu itu!" Ucap Mama Laras dengan menggebu-gebu.

Laras mematung dibuatnya. Bagaimana bisa Mamanya membongkar rahasia yang harusnya tidak Laras ketahui?  Dalam jangka waktu yang cukup lama, Mamanya berusaha untuk menutupi bahwa Laras selalu ber-halusinasi. Tapi, kali ini? Rahasia itu berhasil keluar meledak dari emosinya.

"A-apa? Mama jangan bercanda. Ba-bagaimana mungkin a-aku berhalusinasi?" Setetes air mata berhasil jatuh ke pipi chubby miliknya.

"Dengarkan Mama, sayang. Sebenarnya, Mama berusaha untuk menutupi semua ini dari kamu. Tapi, hati Mama terluka jika kamu selalu pergi untuk bertemu dengan teman halusinasi-mu itu." Mama membelai kepala Laras dengan lembut.

"Ja-jadi i-itu benar? Ra-rani hanyalah sebatas halusinasi-ku?" Ucapnya dengan terbata-bata.

.

.

.

#NulisRandom2017

#JustHallucinations

@arinruhamasabila